Minggu, 19 April 2009

Winter Of Love

Pagi itu mentari bersinar terang, angin sepoi-sepoi membelai lembut kulitku. Burung-burung berkicau riang siap menyambut pagi yang indah. Jam dinding menunjukkan pukul 07.00 pagi. Seperti biasa, aku adalah orang pertama yang berada di ruang makan. Aku menghampiri kursiku dan kupandangi meja makan tua yang hampir roboh di depannya. Kaki-kakinya sudah hampir habis di makan oleh rayap. Sungguh sangat mengenaskan kondisi meja tua itu, jika saja paman Dimo tidak memperbaikinya, aku yakin meja itu akan benar-benar roboh.aku duduk di atas kursi makanku yang letaknya persis di belakang jendela sehingga udara pagi selalu menyambut hari-hariku. Di atas meja sudah tersaji berbagai menu sarapan yang siap mengisi perutku dan seperti biasa selalu ada segelas susu coklat buatan mbok Ina yang menyambut pagiku.

Akhirnya semua anak-anak sudah berkumpul di meja makan, seperti biasa ruang makan itu akan selalu dipenuhi keributan dan menghabiskan waktu 10 hingga 15 menit untuk membuat semua anak itu tenang. Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, sejak sebulan yang lalu ketika orangtuaku tidak lagi di dunia. Sejak saat itulah aku berbaur dengan anak-anak yang senasib denganku di rumah sederhana yang tidak begitu besar namun nyaman untuk di tempati. Rumah dimana aku tinggal kini dikenal dengan Panti Asuhan “Bunda Mulia”. Bunda Arini, mbok Ina dan Paman Dimo adalah pengurus panti sederhana ini. Ada sekitar 40 anak yang menempati panti ini. Akan tetapi aku tak begitu mengenal mereka semua karena aku tak begitu banyak bicara semenjak orangtuaku meninggal dunia. Namun, hanya ada 1 anak yang mengenal dan selalu menemani serta memberiku semangat, dia adalah Arya Agatha. Dia selalu menemaniku bermain dan dia yang selalu melindungiku.

“Pagi Nin!.” Sapa Arya sambil menghampiri kursiku.

“Pagi juga.” Balasku

“Udah hafal belum lagu buat pentas sabtu nanti?.”

Upsss, hampir aja lupa. Hehehe, udah sih beberapa.” Jawabku sambil menyantab suapan terakhir sarapan pagi itu. Sabtu ini panti kami akan mengadakan perayaan Natal. Aku bersama anak-anak yang lain akan membawakan lagu-lagu natal. Acara ini diadakan dalam rangka untuk menyambut hari natal serta untuk menarik perhatian calon-calon orang tua yang mungkin ingin mengadopsi salah satu dari kami. Aku tak pernah berharap akan diadopsi oleh orangtua-orangtua tersebut dan aku juga tak ingin Arya diadopsi pada suatu saat nanti. Meskipun itu memang tak mungkin akan tetapi aku berharap dapat terus berada disisi Arya saat itu.

Akhirnya Natal-pun tiba, semua anak-anak telah siap berbaris di depan altar capel panti. Aku berada di barisan terdepan tepat disebelah Arya. Saat itu Ia menggenggam tanganku dengan erat. Banyak yang menghadiri acara ini. Setelah acara ini selesai mereka yang telah diadopsi akan pergi bersama keluarga barunya. Aku pun tak pernah menyangka, hari itu adalah hari terakhir aku bersama Arya, memegang tangan Arya dan mendengar suara Arya. Tak pernah kuduga sebelumnya bahwa aku tidak akan bertemu Arya lagi. Hari itu Arya diadopsi oleh orangtua barunya. Ia sudah tahu hal itu beberapa hari yang lalu, namun ia tak pernah mengatakanyya kepadaku. Aku berlari menuju goa Maria tempat biasa aku bersama Arya bermain. Disana aku menangis, aku tak tahu harus bagaimana. Tanpa Arya aku tak tahu apakah bias tetap tegar menjalani semua ini. Pikiranku berkecamuk, jantungku berdegub lebih cepat dari biasanya. Aku terus menangis tanpa henti.

“Nindi.” Arya memanggilku dari belakang. Aku tak menjawabnya, aku hanya bias diam.

“Nindi.” Kini Arya memanggil namaku tepat dihadapanku, sambil mengangkat wajahku ia mengusap air mataku. “ Jangan nangis.”

Aku tetap diam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Arya merogoh sakunya dan memberikan sebuah kalung kepadaku.

“Kalung ini buat kamu, kamu harus selalu pakai kalung ini, jadi nanti apabila kita ketemu lagi, aku bisa kenalin kamu lewat kalung ini. Aku juga punya satu lagi, ini buat aku jadi nanti kamu juga bisa kenalin aku dari kalung ini.” Jelas Arya. Kini aku memegangi kalung pemberian Arya. Kalung itu hanya seperti bola gundu saja, warnanya hijau gelap. Akan tetapi jika kedua kalung pasangan ini didekatkan maka kalung-kalung itu akan merekat satu sama lain.

“Nin, aku janji. Natal tahun depan aku pasti kesini lagi!JANJI.” Arya meyakinkan diriku sambil menyodorkan jari kelingkingnya ke arahku. Aku membalas mengaitkan kelingkingku ke jarinya. Saat itu aku sungguh berharap natal tahun depan akan segera tiba.

“NINDI ARIYANI!!!.”

GUBRAK! Lagi-lagi aku gagal melakukan salto dari tempat tidurku, dan kini posisiku terkapar tak berdaya di lantai kamar tidurku. Akhirnya aku terbangun dari mimpi panjangku. Mimpi akan masa laluku di Panti 10 tahun silam yang begitu sulit aku lupakan sehingga, sudah seringkali aku bermimpi tentang hal yang sama.

“NINDI!!.” Mama berteriak lebih nyaring.

“IYAAAA MAAAA!!!!.” Sahutku sambil berusaha bangkit berdiri dari lantai kamarku. Aku menggapai gagang pintu dengan setengah mata terbuka. Maklum saja nyawaku masih belum sepenuhnya terisi. Aku adalah Nindi Ariyani. Kini aku siswi SMU PElita Harapan kelas 2. Aku mempunyai keluarga baru sekarang, aku punya mama, punya papa, dan punya kakek-nenek yang sangat menyayangiku seperti keluarga sendiri. Sejak desember 10 tahun silam, aku diadopsi keluarga ini dan resmi menjadi anggota keluarga ini pada natal tahun itu. Dimana aku kehilangan temanku, sahabatku dan mungkin cinta kecilku sejak hari itu hingga kini dia tidak pernah muncul lagi. Janji itu tidak ia tepati. Hari itu, aku memohon kepada Bunda Arini agar aku diperbolehkan menunngu sebentar sebelum aku dibawa oleh keluarga baruku. Aku terus menunggu sampai lebih dari jam 12 siang, tapi tak kulihat tanda-tanda kehadiran Arya saat itu. Akhirnya Bunda menyuruh-ku pergi dengan keluarga baruku dan mau tak mau aku –pun terpaksa menuruti apa kata Bunda untuk meninggalkan panti dengan sejuta kenangan yang tak akan mungkin dapat aku lupakan. Bagiku kala itu meninggalkan panti sama saja dengan mengakhiri semua cerita tentang aku dan Arya.

“Nih non susu coklatnya.” Kata mbok Yum membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya makasih ya mbok.” Jawabku

“Kamu kenapa sih saying?. Kok ngelamun aja dari tadi mama lihat?.” Tanya mama sambil memberikan 2 buah roti isis kepadaku.

“Ah gak apa-apa kok Ma. Hehe, gak ada apa-apa kok.” Jawabku meyakinkan Mama.

“Hmm… ya udah dimakan rotinya. Habis itu berangkat sekolah.”

“Iyaaa Maa…” Jawabku sok manis. Untung saja mama tak curiga. Aku menyelesaikan sarapanku dengan meneguk segelas susu coklat kesukaanku. Setelah yakin semuanya telah siap dan tidak ada barang yang tertinggal, aku berpamitan kepada Papa dan Mama lalu akupergi menuju sekolah diantar Pak Udin supirku. Menghabiskan waktu sekitar 25 menit menuju ke sekolah kesayanganku. Ohh.. hari ini benar-benar membosankan, pelajaran pertama bersama guru tercinta Pak Rozak sungguh membuat hari ini buram.

“Pagi Nindi.” Sapa Keysha sahabatku.

“Pagi juga.” Balasku sambil duduk di tempat dudukku tepat di depan kursi Keysha.

“Duh, hari ini pagi-pagi udah suram banget ketemu si Abdul rozak bin salim itu huh.” Gerutu Key.

“Haha.. iya bener banget. Pagi cerah-cerah gini udah di sambut dengan wajah memblenya.” Sambungku.

KRIIIIIINGGGGGG!!!. Bel berbunyi nyaring mengingatkan seluruh murid agar masuk ke kelas mereka masing-masing sebelum para guru mendahului mereka berada di kelas itu.

***

Aku menduduki bangku yang biasa kududki di caffe d’lounge. Hari ini aku, dan kedua sahabatku, Keysha dan Dina janjian ngumpul bareng di caffe ini. Dina adalah sahabat tercentil dan termanja yang pernah aku miliki.

Hari ini caffe tidak seramai biasanya. Hanya ada beberapa meja saja yang di duduki pengunjung, dua diantaranya sama sepertiku masih berstatus anak SMA dan sisanya hanya segerombol Exmud (Executive muda) yang sedang sibuk berdiskusi dengan rekan bisnisnya. Kupandangi sekeliling caffe itu, tidak ada yang berubah hanya saja ada tambahan meja pelanggan di salah satu sisi caffe.

“Sorry-sorry agak telat, habisnya tadi macet hehe. Terus tadi si Key nebeng juga jadinya lama deh.” Kata seorang cewek berambut ala Rihana yang tak lain adalah Dina.

“Dasar tukang ngaret.” Ledekku.

“Hehe.. udah ah, mau minum apa ni?.” Tanya Dina.

Dina sibuk berkulat dengan laptopnya, Keysha sibuk bermain dengan I-phone-nya dan aku sibuk melihat orang mondar-mandir, keluar masuk pintu caffe. Sesekali kami berbincang dan bercanda tawa lalu kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Di tengah kesibukan kami, tiba-tiba segerombol anak cowok masuk ke caffe sambil tertawa-tawa dan duduk tepat di seberang meja kami. Aku langsung menatap Dina yang biasanya akan langsung tertarik melihat segerombol cowok beken berada di sekelilingnya. Benar saja dugaanku, Dina langsung mengabaikan laptopnya dan segera memasang tampang sok manis andalan-nya, sambil melihat satu per-satu dari gerombolan cowok-cowok itu.

“Dasar CENTIL!.” Ledekku sambil mangacak rambutnya.

“Haha, udah kebiasaan dari lahir Nin jadi maklumin lah. Hahaha.” Sambung Keysha.

“Sirik aja deh semuanya.” Bela Dina sambil merapikan rambutnya. “Ngomong-ngomong, liat deh cowok yang pake baju kemeja putih terus lagi megang buku. Dari tadi gw perhatiin dia ngeliatin lo Nin.” Bisik Dina. Aku tidak percaya dan menhiraukannya, namun Key penasaran dan berpaling juga ke meja anak-anak cowok tersebut.

“Iya-iya bener Nin. Nggak pakai ngedip pula. Haha.” Sambung Keysha berbisik.

“Apaan si lo bedua. LEBAY!.” Seruku.

“Nggak percaya? Buktikan saja sendiri. Haha.” Balas Dina memanasiku. Aku pun tergoda untuk memastikan semua itu dan ternyata benar saja apa yang mereka katakana. Cowok itu melihat ke arahku sambil melempar senyum-nya setelah aku melihat ke arahnya.

“Nah kan. Senyum pula dia. Haha.” Ledek Keysha.

“Tau ah.” Jawabku. “Pulang yuk, bosen nih gw di sini!.” Ajakku

“Iya deh, gw juga cape banget mau tidur.” Sambung Keysha.

“Yaaahhh… padahal baru aja cuci mata.” Keluh Dina tetapi tetap membereskan barang-barangnya. Aku bangkit berdiri dari kursiku dan keluar dari caffe itu. Saat aku berjalan menuju pintu keluar, tak sengaja aku melirik ke meja segerombolan cowok-cowok tadi dan kulihat lagi, sesosok cowok berkemeja putih itu masih melihat ke arahku. Hanya perasaanku atau apalah itu aku tak tahu.

***

“Hari ini kita kedatangan murid baru. Namanya Maudy Aulia.” Kata Bu Murni wali kelasku. Tepat di samping Bu Murni berdiri seorang gadis cantik bernama Maudy. Dia sekelas denganku dan duduk di sebelahku sekarang.

“Hai, gw Nindi Ariyani.” Sambutku lembut.

“Hai juga. Aku Maudy.” Balasnya sambil mejabat tanganku.

***

“Hai-hai sorry telat lagi. Hehehe.” Sapa Dina tiba-tiba.

“Ckckck. Kemana aja lo? Tadi istirahat kita cariin nggak ada?.” Tanyaku kepadanya.

“Oh, tadi gw lagi di perpustakaan. Hehe buat pr gw tadi.”

“Yang bener??.” Sanggah Keysha.

“Eh iya kenalin ini Maudy.” Kataku memeprkenalkan Maudy kepada Dina yang belum sempat mengenalnya karena berebeda kelas dengan ku dan Keysha. “Maudy ini Dina. Dina ini anak centil banget tapi baek kok haha.” Ledekku.

“Ah, resek lo. Hehe halo gw Dina.” Kata Dina sambil menjabat tangan Maudy.

“Hehe. Maudy. Kalian kompak yah.” Kata Maudy sambil tertawa. “Eh aku udah dijemput, aku pulang dulu yah. Sampai ketemu besok. Bye.”

“Oke deh hati-hati ya. Bye.” Jawab kami serentak. Maudy menaiki mobil sedannya. Ia di jemput oleh seorang pria yang sepertinya pernah aku lihat. Hmm mungkin hanya perasaanku saja. Aku berpamitan dengan kedua sahabatku dan bergegas pulang. Setelah makan siang dan ganti baju aku bergegas pergi menuju toko buku. Disana tak kusangka aku bertemu dengan Maudy bersama seorang cowok yang menjemputnya tadi di sekolah. Maudy terlihat dekat dengan cowok itu. Cowok itu tinggi dan tampan. Ia memakai kaos dan celana selutut serta sepasang sepatu keds. Keren. Aku terus memperhatikan cowok itu sampai-sampai tak kusadarai mereka menghampiriku.

“Nindi?.” Panggil Maudy.

“Oh, hai.” Jawabku kikuk. Aku sungguh merasa malu telah tertangkap basah sedang memperhatikan mereka seperti penguntit. “Eh gw duluan yah. Udah di jemput. Hehe bye.” Saking malunya aku, aku sedikit berlari dan meninggalkan toko buku itu.

Keesokan harinya Maudy mengenalkan aku dan kedua sahabatku dengan cowok yang kemarin aku lihat itu. Ternyata cowok itu adalah saudara sepupu Maudy.

“Aga.”katanya

“Oh. Nindi.” Balasku

“Lo yang kemarin di caffe kan? Hehe inget gw gak?.” Tanyanya kepadaku dan aku baru ingat bahwa dialah yang memperhatikan diriku saat di caffe 4 hari yang lalu.

“Oh, iya pantes saja gw kaya-nya gak asing ngeliat lo.” Jawab Dina tiba-tiba.

“Din, yang ditanya itu Nindi bukan elo.” Ledek Key. Aku hanya bias tersenyum dan tidak tahu harus berkata apa. Entah mengapa setiap kali aku melihat Aga, sepertinya aku sudah lama mengenal dirinya.

***

Sebulan berlalu. Aku, Keysha, Dina serta Maudy semakin gila disibukkan dengan berbagai macam tugas dan ulangan. Aku juga masih merasa aneh dan bimbang. Walaupun akhir-akhir ini aku dekat dengan Aga, tapi sepertinya aku sudah lama mengenal dirinya.

Akhir minggu ini adalah surge bagiku karena adanya libur natal serta libur pergantian semester baru. Aku mendatangi caffe langgananku sendiri tanpa sahabatku. Aku duduk di tempat biasa sambil bermain laptop. Seketika kupandangi orang-orang disekelilingku yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ketika sedang asiknya chatting dengan temanku tiba-tiba saja ada suara ribut dari arah pintu masuk sehingga aku melihat kea rah pintu masuk caffe dan kudapati Aga dan Maudy disana sedang bercanda tawa. Tetapi, Maudy memanggil Aga, Arya. Apa maksudnya? Apakah Aga mempunyai kembaran? Jelas-jelas dulu Aga bilang dia tidak punya adik ataupun kakak, dan juga namanya adalah Aga Reyhan. Lalu kenapa sekarang Maudy memanggilnya Arya? Aku menyipitkan mataku untuk memastikan itu adalah Aga, dan aku tak salah itu 100% Aga.

“Hahaha Arya Agatha si Pembohong besar. Hahahah.” Ledek Maudy dan aku benar-benar shock sekarang. Aku melongo seperti orang bodoh. Mimpikah aku? Ataukah aku salah mendengar? Maudy memanggil Aga, Arya Agatha? Reflek aku langsung bangkit berdiri dari kursiku sehingga mejaku terbanting dengan kencang. Semua orang memperhatikanku termasuk Maudy dan Aga atau Arya. Aku melihat ke arah mereka, kulihat mereka berdua terkejut melihatku berada di sana dari tadi. Lalu aku lihat ke arah baju sekolah Aga. Disana tergantung katu pengenal pelajar yang menuliskan namanya bukan Aga Reyhan melainkan ARYA AGATHA. Aku bergegas membereskan semua barangku dan meninggalkan caffe itu secepatnya. Mereka berdua mengejarku. Tapi aku sungguh tak sudi berbicara dengan mereka lagi terutama Arya. Ternyata selama ini aku telah dibohongi, bahkan dikhianati, dia tidak menepati janjinya dan sekarang dia muncul di hadapanku dengan mengaku sebagai Aga. Sungguh aku benci Arya. Aku mempercepat jalanku tetapi Arya berhasil mendahuluiku.

“Nin, nin tunggu gw! gw bisa jelasin Nin! Gw bisa jelasin semuanya! Lo harus denger gw dulu nin!.”

“Gak ada yang perlu dijelasin lagi! Semuanya udah jelas! Lo itu PEMBOHONG!.”

“Nin please! Dengerin penjelasan gw dulu. Nin, semua ini gak kayak apa yang lo bayangin.” Arya terus membujukku. Kini ia menarik tanganku dengan kencang, sehingga aku sukit untuk melepasnya.

“Lepasin! Gw gak mau ngeliat lo lagi!” aku melepaskan genggamannya dan berlari menuju mobil-ku. Arya terus mengejarku dan terus membujukku dari luar jendela mobil. Aku sama sekali tak mengiraukannya. Aku meninggalkannya seperti dia meninggalkan aku dulu.

Keesokan harinya aku demam tinggi. Arya menghubungiku berkali-kali namun tidak aku hiraukan sama sekali. Aku kesal, benci, marah mengapa dia harus berbohong terus menerus kepadaku. Dua hari ini aku sakit. Untung saja sekolah libur. Hari ini Keysha, Dina dan Maudy menjengukku.

“Nin, kita udah denger ceritanya dari Arya dan juga Maudy.” Jelas Dina. Aku tetap diam, aku masih marah dengan Maudy yang juga sama-sama membohongiku.

“Nin, lo itu salah paham!.” Sambung Keysha.

“Gw gak salah paham! Memang kenyataanya gitu kan! Arya ngebohongin gw! Mana dia bilang janji bakalan dating Natal tahun depan setelah dia di adopsi??? Nyatnya dia gak dating kan! Sekarang bahkan dia bohongin gw lagi, dia ngaku-ngaku sebagai Aga padahal Arya! Apa gw segitu gak pantesnya untuk ketemu dia??? Apa gw emang lebihpantes dibohongin????.” Jawabku marah.

“Nin, Arya dateng kok! Arya dateng Natal setelah dia di adopsi oleh keluarga saudara gw! Dia dateng demi lo!.” Jelas Maudy. “Waktu itu Arya udah harus pulang ke America lagi, tapi dia gak mau karena masih punya janji sama elo. Papa-mama Arya gak peduli, dia maksa Arya pulang. Tapi Arya nge-keuh mau ke panti hari itu juga. Jadi waktu semuanya mau naik pesawat, Arya kabur. Dia kabur ke Panti. Arya yang masih berumur 9 tahun itu kabur ke Panti sendirian demi nyari elo. Tetapi ternyata, lo udah gak ada. Lo udah di adopsi. Lo tau? Gw liat hari itu, pertama kali gw liat Arya nangis! Sebelumnya gw gak pernah liat dia sesedih itu. Darisitu gw berpikir, siapa lo? Apakah segitu beharganya bagi Arya?.”

“Gw gak percaya! Lo kan sama aja kaya dia yang suka ngebohongin orang!.” Ketusku.

“Arya yang nyuru gw untuk gak bilang sama lo Nin! Arya belum siap untuk ngeliat lo marah sama dia, dia belum siap lo benci sama dia. Tapi gw gak bohong! Dia beneran dateng Natal tahun itu! Dia nyariin lo, dan asal lo tahu, tiap natal dia pasti ke panti untuk nyari lo.” Ujar Maudy. “sampai akhirnya, dia ketemu lo di caffe! Sejak saat itu dia tahu kalo cewek itu adalah lo! Nindi Ariyani yang dia cari. Gw berani sumpah, gw gak bohong sama sekali.”

“Nin, ini kalung lo kan? Arya cerita, dia pernah ngasih kalung ini ke elo, tapi kalung ini lo tinggalin di depan patung bunda maria.” Maudy memberikan sebuah kalung yang dulu selalu menemani hariku sejak Arya pergi. Akan tetapi, aku sengaja meninggalkannya di Gua Maria, karena aku tak sanggup mengingat kenangan-kenangan di antara aku dan Arya.

“Nin, sabtu ini Natal. Seperti gw bilang dia di panti. Nungguin lo dan berharap bias mulai lagi dari awal. Kalau lo mau semuanya berakhir bahagia, dateng sabtu ini ke panti.”jelas Maudy. Maudy, Keysha dan Dina berpamitan pulang. Aku benar-benar bimbang. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa menangis dan terus menangis.

***

Sabtu 25 Desember 2008. Hari ini natal, natal yang begitu menyedihkan bagiku. Sampai saat ini aku masih tak bisa membuat keputusan yang pasti. Aku benar-benar bingung.

“Nin, hari ini Arya Nunggu lo dip anti, kalau lo gak dateng sebelum jam 12, dia bakaln pergi ke America untuk waktu yang lama!.” Maudy mengingatkanku pagi itu. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Aku takut. Apa yang harus aku perbuat?. Jantungku berdegup lebih kencang. Kulihat jam menunjukkan pukul 11.00 tepat dan aku masih duduk dalam diam seperti orang bodoh. Sampai akhirnya, sesuatu mendorong kakiku untuk bergerak meninggalkan tempatku dan beranjak ke panti. Aku menaiki mobil bersama Pak Udin. Sial, aku baru ingat pasti akan macet sekali. Sudah setengah jam aku di dalam mobil, sedangkan panti masih membutuhkan setengah perjalanan lagi. Kuputuskan untuk turun dari mobil dan berlari menuju panti lewat jalan pintas yang pernah kulalui. Aku terus berlari sampai akhirnya aku sampai di Panti, namun terlambat 20 menit. Aku cari Arya dalam capel dan Gua Maria, namun tak kulihat sama sekali dirinya disana. Aku berlari keluar menangis dengan kencang. Ku berlari menelusuri jalan setapak di Panti seperti hari itu, saat Arya pergi natal tahun itu. Aku berlari sekncang-kencangnya untuk mendapati Arya kembali namun, aku kalah. Aku terjatuh dan tak berdaya, semuanya hilang saat itu juga. Kini aku berlari kembali tapi, aku tak tahu ingin mengejar apa. Arya sudah pergi. Semuanya hilang. Hilang seperti dulu lagi. Namun aku terus berlari, sampai akhirnya aku tersungkur di jalan. Sakit. Tapi lebih sakit hatiku. Hujan turun begitu deras, aku tetap terduduk di jalan tak berdaya. Aku terus menangis sekencang-kencangnya. Aku tak tahu mau sampai kapan, tapi aku tak bisa menerima kenyataan.

“Dasar bodoh!.” Ujar seseorang yang suaranya benar-benar tidak asing bagiku. Kulihat sosok orang itu, dia basah sama sepertiku. Nafasnya tidak beraturan, tetapi dia tetap tersenyum sambil menarikku berdiri ke dalam pelukkanya. “Aku tahu pasti kamu disini.”

“Jangan pergi lagi!.” Mohonku kepada Arya.

“Dasar bodoh! Aku gak pernah mau ninggalin kamu dan aku gak akan pernah ninggalin kamu lagi.” Jawab Arya sambil mengusap wajahku. Aku puas dia berlari kembali ke arahkubukan seperti dulu, dia berlari meninggalkanku.

**THE END**